Aku mengenalnya belum cukup lama, ketika itu kami hanya tahu nama satu sama lain. Aku ingat saat
pertama kali melihatnya, dia begitu dingin, kurang ramah, dan sedikit sekali melukis senyum. Mukanya kecut, tak enak dilihat oleh mata ku yang tidak biasa diacuhkan ini. Sementara aku melempar tawa canda bersama beberapa orang yang baru ku kenal, namun disinilah rasanya persaudaraan itu mulai melekat. Tidak ada yang mempesona, hanya rasa nyaman saat berada bersama dengan mereka. Lalu kupalingkan lagi wajahku ke arahnya yang duduk tak banyak bicara itu, apa yang sedang ia pikirkan sementara kami tertawa dan ia seperti beruang kutub nan garang.
Beberapa hari aku datangi lagi tempat yang ku sebut rumah,
ada beberapa hal yang tidak bisa dilupakan sesaat waktu mempersilahkan kami
untuk saling mengenal satu sama lain lebih dekat. Aku mulai menoreh senyum
padanya yang ku sebut beruang kutub awalnya, sampai Tuhan berikan kesempatan
untuknya membuktikan bahwa penilaianku salah. Semenjak itu kami semakin dekat
dan menjadi sahabat yang jika diibaratkan bagai kepompong, merubah ulat menjadi
kupu-kupu. Kami akhirnya mulai terbiasa menghabiskan waktu bersama, biasa ada
satu sama lain untuk saling melengkapi dan aku biasa terjaga didekatnya.
Sampai
suatu hari persahabatan kami yang indah dihujani perasaan ingin memiliki dalam sebuah
ikatan yang disebut status, lewat kata cintanya yang mengudara dan menyambar
bak kilat yang mengejutkanku. Tak bisa aku terima atas apa yang keluar dari
mulutnya yang menodai persahabatan dan persaudaraan ini, sebut saja kami, bukan
hanya aku dan dia. Selama ini aku menganggap mereka tak lebih dari sekedar
sahabat. Aku merasa semua ini sudah tak selaras dengan inginku dan membuatku
merasa sedikit kecewa.
Ditengah kesibukanku, aku mulai melupakan semuanya, dan
untuk waktu yang cukup lama aku tak menghubunginya dan beberapa lainnya, juga
tak menampakan diri kembali ke sana. Sehingga tak sedikitpun dari mereka curiga
bahwa aku sedang mengubur kekecewaanku bersama kesibukanku, aku selalu berdalih
belum ada waktu untuk kembali, kesibukan inilah itulah dan sebagainya. Tapi dia
berbeda, dia terus menghubungiku, mencariku, menanyaiku, dan mengajakku
kembali. Dia bukan beruang kutub yang garang, dia KOALA yang bergerak dengan
susah payah untuk menghampiriku dan setia memelukku dalam setiap keadaan. Dia
mencoba mengerti dan memahamiku. Dari situ pulalah semuanya seolah dimulai dari
awal lagi. Aku mulai tersentuh dengan kesetiaannya untuk menjadi sahabat
sejatiku, yang menghapus tetesan air mataku, dan memegangiku disaat aku hampir
terjatuh walaupun aku sudah mengabaikan perasannya. Katanya, “aku bahagia jika melihatmu bahagia, karena
cinta yang sebenarnya bukan tentang memiliki atau tidak, tetapi bagaimana cara untuk
melihatmu tersenyum penuh bahagia.” Aku sungguh tak habis pikir, orang yang
kelihatannya dingin ternyata didalamnya ada nilai kehangatan yang tiada
terkira.
Sampai pada suatu malam yang pekat dan dingin, aku
diselimuti perasaan rindu ingin menemuinya dan tertawa bersamanya. Mungkin
radar sudah terlanjur datang memberi sinyal padanya, bahwa aku membutuhkan
kehadirannya. Dia mengajakku pergi ke suatu tempat yang belum pernah aku
datangi sebelumnya, disana terdengar suara deburan ombak yang menabrak karang, beberapa
warung yang menjajaki makanan yang juga belum pernah aku makan sebelumnya. Katanya,
“makanlah sampai kau kenyang dan hatimu senang.” Lalu tak lama ia izin pergi
meninggalkanku katanya sebentar. Sampai lelah hati menunggunya aku segera
membungkus makanan untuknya lalu memutuskan pergi mencarinya. Saat hendak
kulangkahkan kaki yang kesekian, aku melihat beberapa orang bersepeda motor,
ramai, gaduh, bising, sampai aku kehilangan arah untuk mencarinya. Perasaan
was-was ku terhadapnya semakin menjadi ditengah suasana kacau saat itu, sampai
aku tak sadar diri kalau aku sudah melangkah jauh dari tempat semula. Aku
seperti ada di lorong kegelapan, namun aku terus berjalan sampai menemukan
titik terang. Sampai aku menemukannya, yang
ku dengar hanyalah “berhenti mencariku, aku tak bisa terus bersamamu, ada banyak
hal yang harus kuurusi, bukan lagi tentang kamu, pergilah.”
Kemudian air mataku berjatuhan deras di pipi, sesak rasanya,
beginikah dia yang kukira sahabat sejati? Untuk apa semua kebaikan yang sudah
ia berikan padaku selama ini? Aku sampai berpikir macam-macam, tak tergambarkan
perasaanku ini dan saat itulah kemudian aku melihatnya menjadi sebatas bayangan
yang kemudia melebur. Ia menghilang bersama fazar yang membangunkanku dari
tidur. Sampai aku tak kuasa membedakan ini mimpi atau bukan? Tapi saat kulihat
langit-langit kamar masih sama seperti kemarin. Alhamdulillah itu benarkan hanya
mimpi, tapi air mataku sampai terbangunpun masih basah di pipi dan sesak di ulu
hati juga masih terasa. Astagfirullah, aku segera membuang ludahku ke kiri dan
terus mengingat Allah di waktu bangunku.
Ternyata mimpi itu menjadi peringatan padaku bahwa aku tak
boleh mengabaikan kebaikan seseorang, melepaskan dan membiarkan pergi seseorang
yang selalu berusaha berada disampingku dan berupaya membahagiakanku dari
berbagai sisi dan merekalah orang yang digetarkan hatinya untuk menjagaku dan
menyayangiku. Aku hanya perlu untuk melihat ketulusannya. Semua ini karena kita ingat bahwa kesempatan itu belum tentu datang
untuk yang kedua kalinya, dan waktu belum tentu bersedia memutar kembali ke
masa lalu, masa dimana kita mendapat cinta dan kasih sayang yang tulus dari seseorang.
Karena akan sakit bila akhirnya kebaikan dan kasih sayang yang tulus untuk kita
itu jatuh pada diri oranglain. Mudah-mudahan Allah senantiasa selalu
memberikan perlindungannya untuk kita, cahaya dan menghadirkan orang-orang yang
menyayangi kita dengan tulus tak lekang waktu. Aamiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar