Selesai percakapan dalam telepon itu,
Umi yang memperhatikanku daritadi menjadi penasaran dan segera
mengintimidasiku.
“Siapa? Kenapa? Ada apa katanya?”
“Mimi tahu Pak ‘A’ Kepala SMPN 1 ‘G’?”
“Ya, tahu. Itu teman Papah dulu.
Beliau waktu masih bekerja disini sempat main ke rumah, Ceuceu gak akan tahu
karena waktu itu usia Ceuceu masih 5-6 tahun.”
“Lho, Ceuceu emang gak tahu, Mi. Tapi
kenapa beliau menelpon Ceuceu dan menanyakan hal-hal yang aneh?”
“Memang menanyakan apa?”
“Ya seputar perkuliahan, pekerjaan,
jodoh, dan orang-orang yang pernah dekat dengan Ceuceu. Apakah Papah yang
memberi tahu semua itu? Lalu untuk apa?”
“Oh, iya bisa saja. Papah mungkin
sedang bertamu di rumahnya.”
“Ya memang sedang disana, Mi. Tapi
untuk keperluan apa membicarakan tentang Ceuceu sampai mendalam begitu?
Memangnya Pak’A’ punya anak yang seusia dengan Ceuceu, Mi? Ceuceu jadi
terpikirkan kalau Papah mau menjodohkan Ceuceu dengan anak Pak ‘A’ soalnya Pak ‘A’
menanyakan hal-hal semacam itu sama Ceuceu, dan katanya nanti mau datang
kesini.”
“Ya, mungkin saja. Seingat Mimi Pak ‘A’
memang punya satu anak laki-laki tapi tidak seusia Ceuceu, terpaut jauh beberapa
tahun. Mungkin dia sudah lulus kuliah duluan daripada Ceuceu dan mungkin sudah
bekerja.”
“Kalau benar acara perjodohan, Ceuceu
tak setuju dan tidak mau dijodoh-jodohkan, Mi. Emangnya ini jaman Siti Nurbaya
pakai acara jodoh-jodohan segala.” Kata ku ketus.
Umi juga membantah semua perkataanku,
dia malah berkata-kata bahwa jaman sekarang seperti kembali ke jaman dulu. Banyak
anak-anak yang menikah karena hasil perjodohan orangtuanya. Dia juga jadi
menceritakan padaku beberapa teman dan saudara yang bisa berhasil membina rumah
tangga karena hasil perjodohan. Jujur saja, aku mendengarnya sangat muak dan
kesal. Seandainya Umi tahu, aku takut akan perjodohan yang mungkin saja akan
membawa pada pertikaian dan perpecahan dari sebuah persaudaraan dan
persahabatan, bilamana aku merasa tak cocok dengan orang yang hendak dijodohkan
denganku. Semua itu tidak akan baik untuk kedua belah pihak dan akupun bisa di
cap sebagai anak yang tidak berbakti kepada orangtua.
“Mi, yang Umi ceritakan mungkin saja
kebetulan jodoh dan takdirnya. Lha, kalau nimpa di Ceuceu tidak berjodoh, kan
siapa yang malu? Pasti salah satu pihak merasa dikecewakan. Sekarang itu
biarkanlah Mi, Ceuceu menemukan pasangan sejati Ceuceu dengan sendirinya. Toh,
Umi juga dulu tidak pakai acara jodoh-jodohan kan dengan Papah.” Pungkasku.
“Iya itu kan baru mungkin, ya Mimi
gak tahu Papah datang kesana dalam rangka apa. Ya udah sekarang kita tunggu
Papah datang saja, lalu tanyakan apapun yang ingin Ceuceu tanyakan pada Papah.”
Tegas Umi.
Batinku tiba-tiba merasa gelisah, aku
takut kemungkinan itu benar mempertimbangkan percakapanku via telepon dengan
Pak ‘A’, apalagi keluarga Pak ‘A’ berniat bertamu ke rumahku. Di sore yang
lumayan cerah itu, aku menunggu kedatangan Papah dan adik pulang ke rumah. Lamanya
bagai menunggu durian jatuh disaat musim rambutan. Akhirnya selepas adzan
Magrib, suara endapan motor matic
terparkir di depan rumah. Ku lihat Papah mengetok pintu, karena pintu terkunci
Papah jadi berteriak minta dibukakan pintu.
Aku segera membuka pintu dan menjawab
salam Papah dan Adik. Dalam hati menggebu-gebu ingin segera bertanya seribu
pertanyaan yang ada dalam benakku. Namun kubiarkan Papah masuk dan beristirahat
sejenak. Setelah pas waktunya, aku segera berbasa-basi untuk memulai percakapan.
“Pah, tadi benar Papah ada di rumah
Pak ‘A’?” kataku bercampur keringat dingin, Papah terkadang wajahnya terihat
sangat seram.
“Kok masih nanya benar tidak, sudah
jelas kamu dengar suara Papah disana.”
“Ya engga, kan mungkin aja di conference call gitu. Tahunya aku masuk
Ups Salah Trans 7, kan Papah kalau lagi iseng bisa bener-bener iseng sampai ke
mancanegera.” Jawabku penuh kelebayan.
“Engga, emang dikira gampang masuk
TV? Papah emang di rumah Pak ‘A’ tadi sore.”
“Ngapain Papah kesana?”
“Bertamu…”
“Terus Papah ngomong apa aja soal aku
ke Pak ‘A’?”
“Engga, Papah engga ngomong apa-apa.”
“Bohong, masa beliau tahu begitu?”
“Benar,Papah tidak bilang apa-apa.
Tanyakan saja tuh pada adikmu.” Kata Papah santai sambil menyeruput kopi hitam
buatan Umi. Lalu Dika segera menganggukan perkataan Papah.
“Papah cuma bilang kamu sudah selesai
kuliah, dan sudah coba melamar kerja, tapi kalau dilamar belum. Terus Papah
bilang, kamu tuh selektif sekali dalam memilih laki-laki. Sudah ada Dokter,
Dosen, calon Police yang mau pada
mu, tapi semuanya kau tak mau. Kau mau cari yang bagaimana lagi?”
“Lantas Papah mau menjodohkan aku
dengan anaknya?” ucapku berapi-api..
“Siapa yang akan menjodohkanmu? Dengarkan
Papah belum selesai bicara. Kemudian Pak ‘A’ meminta nomormu. Setelah itu Papah
tidak tahu apa-apa saja yang kalian bicarakan. “
“Lalu, kenapa beliau bisa tahu
hal-hal yang sampai mendetail seperti itu?” kataku bercampur emosi kesal namun
tetap merendahkan suaraku di hadapan Papah.
“Kamu gak tahu? Beliau itu bisa ramal
beliau konon katanya punya indera keenam, jadi bisa tahu apa yang sedang kita
alami dan apa yang sudah pernah kita alami.”
“Emang Papah percaya ramalan?” Kataku
sembari melipat tangan dan kaki.
“Beliau juga tahu apa yang sedang ada
dalam pikiran Papah, dan katanya Papah ini punya penyakit dan harus banyak makan
belimbing.”
Mendengar Papah berbicara seperti itu
kekesalan ku berubah menjadi kesedihan, benarkan yang dikatakan orang-orang
yang punya indera keenam?
“Memangnya kata beliau Papah sedang
memikirkan apa?”
“Ya, katanya Papah sedang banyak
pikiran itu memang benar.” Jawab Papah, aku dan Umi saling melihat satu sama
lain.
“Pah, menurut ku di dunia ini tidak
ada yang bisa melihat hal-hal yang ghaib kecuali Allah. Kul layya’lamu man fhissamaa waati wal ardhil ghoyibal ilallah…
Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah. Adapun dia bisa berkata-kata seperti itu mungkin karena
intuisinya kuat atau mungkin saja perantara jin. Lagi pula kebanyakan yang
dikatakan peramal itu adalah hal-hal yang sering masuki akal, hal-hal yang
mungkin terjadi sesuai logika kita. Ketika Pak ‘A’ bilang Papah banyak pikiran,
mungkin karena dari dalam diri Papah sedang memancarkan aura banyak pikiran.
Kalau soal Papah harus banyak makan belimbing, toh memang belimbing itu banyak
manfaatnya bagi tubuh. Siapapun bisa saja dianjurkan untuk makan belimbing.”
“Iyalah iyalah, kau sudah pintar.
Tapi, Papah juga ingin menambahkan, Islam tidak pernah menolak realita. Peta
untuk realita tersebut dibagi menjadi dua, ada realita syar’I ada realita
kauni. Realita syar’i itu berita yang disampaikan dalam Al-quran, dan Sunnah
yang sahih. Seperti misalnya dikatakan dalam hadits Riwayat Bukhari dan Muslim JIbril
itu punya 600 sayap, walupun kita tidak pernah melihatnya secara kasat mata,
tapi karena ini disebutkan dalam hadits shahih ya wajib kita yakini. Kalau
realita kauni ini adalah semua kejadian yang Allah ciptakan di alam ini.
Misalnya ada kejadian aneh, kemudian seseorang melihatnya dan mengabadikannnya
lewat foto/video. Jika kita melihat bukti asli, kita tidak akan mengingkarinya
apalagi kalau kita lihat sendiri.”
“Jadi ini termasuk realita yang mana?”
Aku jadi kebingungan, dan kami saling
memandang satu sama lain. Intinya, aku tidak dijodohkan itu saja cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar