Sabtu, 10 Januari 2015

Bingung Ngasih Judul (Part 1)

Kalian tahu lagu Fatin Shidqia Lubis yang jadi soundtrack film “99 Cahaya di Langit Eropa”? Ih aku seneng banget sama intronya, yang memadukan beberapa instrument musik yang khas dengan Negara Eropa namun berkesan religi. Dibawakan oleh Fatin yang suaranya tak kalah khas sehingga menjadi perpaduan yang awesome. Jum’at sore kemarin pukul 16.47 wib lagu itu berkumandang di hape ku, pertanda ada telpon masuk J (ciye yang dijadiin ringtone) terorereng reeng reeng teroreng…

Assalamualaikum…” segera aku mengangkatnya dan mengucapkan salam.
Waalaikumsalam warohmatullah…” Jawabnya, terdengar suara seorang laki-laki, “dengan Maharatih?”
“Iya, betul. Mohon maaf dengan siapa ini?” Pikirku panggilan dari perusahaan yang memberitahu aku lolos seleksi, setelah hari selasanya aku mengikuti testing and interview di kota Serang. Namun kemudian seketika suara itu berubah terdengar sangat ramah, seolah sudah mengenalku lama.
“Oh ya, Ratih masih ingat Pak ‘A’ kepala sekolah SMPN 1 ‘G’?”

Aku tak segera menjawab, keadaan mengudara kubiarkan sejenak hening. Aku sedang berpikir siapakah gerangan yang menelpon sampai membuatku terpaksa membuka memori lama yang tersimpan di laci-laci limbik. Sambil mengingat kembali, aku melambaikan tangan ke arah Umi yang sedang duduk menonton TV memberi sinyal bahwa aku sedang ditelpon orang asing yang sepertinya aku kenal.

“Oh, Pak ‘A’, ya iya ingat sepertinya…” sahutku melanjutkan kembali percakapan via telpon, namun arah mataku juga sambil berinteraksi dengan Umi, Umi juga mulai mendengarkan.
“Ya dulu sekali, mungkin sudah agak lupa. Lagi apa nih Ratih? Mohon maaf ya, Bapak ganggu waktunya.”
“Emh, kebetulan lagi santai. Ada apa ya, Pak?”
“Oh tidak, hanya sekedar ingin tahu kabar Ratih saja. Kuliahnya sudah beres?”
Alhamdulillah, sudah.”
“Sudah dapat kerja?”
“Emh, belum. Cuma kemarin sudah coba masukin lamaran ke salah satu Rumah Sakit di Serang, sudah sempat interview dan testing juga tapi tidak tahu keterima atau tidak.”
“Oh iya mudah-mudahan cepat dapat kerja, ya… Kalau yang lamar sudah ada?”

Aku segera mengernyitkan dahiku diikuti tawa kecil penuh tanya, siapakah dan ada apakah sore-sore begini menanyaiku hal seperti itu. Membuatku merasa terancam.

“Emh, hehe belum Pak. Ini ada apa ya, kok tiba-tiba bertanya soal itu?”
“Oh, tidak. Tidak ada apa-apa, hanya ingin tahu saja. Ahaha…” jawabnya diiringi gelak tawa yang sederhana. “Mudah-mudahan cepat ada yang lamar ya…”

Mendengarnya berbicara seperti itu, aku langsung terpikirkan seorang teman yang sedang menjailiku. Aku langsung buang usaha-usaha seriusku menanggapinya, sekilas aku berubah seperti berbicara layaknya kepada teman sebaya, sedikit fulgar dan frontal dengan gaya anak muda jaman sekarang. Walaupun aku gak tahu gaya anak muda jaman sekarang tuh kalau teleponan kaya gimana.

“Kenapa, Bapak mau jodohin saya dengan seseorang atau mau kenalin saya dengan anak Bapak?” Umi jadi memperhatikanku lebih intens.
“Wah, tidak baik acara jodoh-jodohan. Mending kalau dijodohkan langsung cocok, kalau tidak kan siapa yang repot?”
“Ya, betul…” Gumamku.
“Benar Ratih belum ada yang lamar? Kalau begitu siapa yang kemarin datang ke rumah?”

Mendengar pertanyaan ini, aku serentak terkejut dan terus menerus mengernyitkan dahi. Sambil terus menanyakan kebenaran dalam diriku, benarkan ini Pak ‘A’? Kenapa dia bisa berkata seperti itu? Maksud dari semua ini apa?

“Seingat saya kemarin tidak ada yang main ke rumah.”
“Ya, belakangan ini…”
“Emh, siapa ya? Tidak ada…”
“Betul tidak ada?”
“Iya betul… Siapa ya?” Aku rasa tidak ada ataukah ingatanku sedang dalam masalah.
“Teman satu angkatan, sudah bekerja dan orangnya sederhana. Orang yang Ratih suka, satu angkatan.”

Aku mengulang kata-katanya sambil memikirkan siapakah gerangan yang dia maksud, dan terus menerus berkata tidak ada, dan aku terus meyakinkan padanya bahwa memang tidak ada orang seperti yang dia gambarkan itu.

“Dia sudah dua kali ke rumah Ratih, coba ingat-ingat lagi.”
“Teman satu angkatan? Sudah kerja? Sederhana? Teman angkatan mana dulu nih Pak, banyaknya teman saya tidak bisa digambarkan begitu saja. SMP, SMA, Perkuliahan?”
“Ya coba saja diingat. Dari perkuliahan juga ada yang pernah ke rumah, kan?”
“Dari perkuliahan? Tidak, tidak ada.”
“Ah, masa?” jawabnya santai.
“Iya betul, tidak ada.”
“Tapi teman yang pernah main ke rumah ada?”
“Ada, teman SMP, SMA itupun bareng-bareng kalau ada acara makan-makan. Kalau yang secara intens tidak ada.”
“Oh, benarkah? Tapi pasti pernah suka sama orang satu angkatan itu, kan?”

Aku benar-benar pusing memikirkannya. Sebenarnya yang beliau maksud ini siapa? Otakku benar-benar tumpul untuk mencari seseorang di laci memoriku yang sesuai dengan kriterianya.  Sebenarnya aku paling tidak suka membahas masa lalu, hal apapun itu termasuk soal perasaan. Namun  secara paksa, memoriku membuka sejarah dan kenangan di masa lalu itu.

“Oh, iya… Ada.” Jawabku santai dan hatiku seperti berkata “iyain aja biar cepet…”
“Nah, itulah…”
“Ya dulu mungkin saya pernah menyukainya, tapi sekarang sudah tidak ada perasaan apapun.”
 “Ya bagus… Masa lalu memang harus ditempatkan pada tempat yang seharusnya…”

Tuut… Kemudian terputus, karena hapeku habis baterai. Aku segera men-charge-nya, dan tak lama lagu Fatin berkumandang lagi, masih dengan nomor yang sama.

“Iya, halo… Maaf tadi hapenya ngedrop.”
“Oh iya gak apa-apa, asal kamu saja yang tidak ngedrop…”
“Haha… bercanda nih.” Kataku lugas, sementara Umi masih tak lepas perhatiannya pada ku.
“Oh iya, mohon maaf Bapak jadi bercandain Ratih padahal kita tidak sedekat ini ya.” Katanya, aku jadi tak bergeming. Aku jadi berpikir kembali bahwa yang sedang berbicara denganku ini benar-benar Pak ‘A’, tapi kenapa dia jadi berlaga so tahu begitu ya, walaupun sedikitnya ada benarnya juga.
“Tapi Pak, untuk apa Bapak menanyakan hal itu? Dan Bapak tahu dari siapa nomor handphone Ratih?”
“Hanya ingin bertanya saja, ya saat ini Bapak sedang di rumah di kota ‘W’ bersama Papah Ratih dan adik Ratih, Dika.”

Oh….. ini Vincent yang di UPS SALAH itu udah berhasil jailin aku. Ih bête super BT, sama kelakuan Papah. Ngapain Papah ngasih nomor aku sama temennya?
“Kalau begitu Ratih ingin berbicara dengan Papah sebentar.”

Terdengar suara grasu-grusu di dalam handphoneku, seperti suara pemain sepak bola sedang mengoper bola kepada pemain lain. Kemudian…

“Halo?” Suara Papah terdengar jelas membahana badai dalam speaker phone ku. “Teruskan saja,” katanya.
“Pah, ngapain Papah ada disana?” Kataku berapi-api bercampur emosi.
“Lagi bertamu…” Jawab Papah singkat.
“Paaa… ish ish ish…” aku kesal pada Papah, aku yakin pasti ini ulah Papah. Karena tidak mungkin seseorang yang jauh tiba-tiba tahu segalanya. Aku memang sempat mengelak, padahal itu benar. Beberapa hari yang lalu temanku yang tak lama ini, yang memang sudah bekerja dan sederhana datang ke rumah. Tapi bukan untuk melamar, melainkan silaturahmi biasa saja.
“Iya, Ratih ini ada Dika dan Papah Ratih disini. Ya sudah, Bapak telponnya sudah dulu ya. Nanti tunggu saja Bapak dan keluarga main kesitu..”
“Oh iya Pak, kalau Papah Ratih bicara yang tidak-tidak sebaiknya tidak usah didengarkan. Papah emang gak jelas…” Pungkasku.
“Oh, tidak jelas ya? Ya, iya baiklah.”
“Kalau mau main ke rumah, main saja Pak. Alhamdulillah, ada kolam ikan dan ada ikannya.”
“Oh, punya kolam ikan ya di rumah? Banyak ikannya?”
“Ya, lumayaan Pak buat makan-makan bersama keluarga mah. Kenyang…”
“Ya, kalau begitu nanti ditunggu saja ya kedatangannya…”
“Iya, Pak. Salam untuk semua keluarga di rumah.”
“Ya, sukses untuk Ratih. Cepat kerja, cepat dapat calon ya…”
“Iya, terimakasih, Pak atas doanya. Assalamualaikum…

Waalaikumsalam warohmatullah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar