Kalian tahu lagu Fatin Shidqia Lubis
yang jadi soundtrack film “99 Cahaya di Langit Eropa”? Ih aku seneng banget
sama intronya, yang memadukan beberapa instrument musik yang khas dengan Negara
Eropa namun berkesan religi. Dibawakan oleh Fatin yang suaranya tak kalah khas
sehingga menjadi perpaduan yang awesome. Jum’at
sore kemarin pukul 16.47 wib lagu itu berkumandang di hape ku, pertanda ada
telpon masuk J (ciye yang dijadiin ringtone) ♫
terorereng reeng reeng teroreng…
“Assalamualaikum…”
segera aku mengangkatnya dan mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam
warohmatullah…” Jawabnya, terdengar suara seorang laki-laki, “dengan
Maharatih?”
“Iya, betul. Mohon maaf dengan siapa
ini?” Pikirku panggilan dari perusahaan yang memberitahu aku lolos seleksi,
setelah hari selasanya aku mengikuti testing
and interview di kota Serang. Namun kemudian seketika suara itu berubah
terdengar sangat ramah, seolah sudah mengenalku lama.
“Oh ya, Ratih masih ingat Pak ‘A’
kepala sekolah SMPN 1 ‘G’?”
Aku tak segera menjawab, keadaan
mengudara kubiarkan sejenak hening. Aku sedang berpikir siapakah gerangan yang
menelpon sampai membuatku terpaksa membuka memori lama yang tersimpan di
laci-laci limbik. Sambil mengingat kembali, aku melambaikan tangan ke arah Umi
yang sedang duduk menonton TV memberi sinyal bahwa aku sedang ditelpon orang
asing yang sepertinya aku kenal.
“Oh, Pak ‘A’, ya iya ingat
sepertinya…” sahutku melanjutkan kembali percakapan via telpon, namun arah
mataku juga sambil berinteraksi dengan Umi, Umi juga mulai mendengarkan.
“Ya dulu sekali, mungkin sudah agak
lupa. Lagi apa nih Ratih? Mohon maaf ya, Bapak ganggu waktunya.”
“Emh, kebetulan lagi santai. Ada apa
ya, Pak?”
“Oh tidak, hanya sekedar ingin tahu
kabar Ratih saja. Kuliahnya sudah beres?”
“Alhamdulillah,
sudah.”
“Sudah dapat kerja?”
“Emh, belum. Cuma kemarin sudah coba
masukin lamaran ke salah satu Rumah Sakit di Serang, sudah sempat interview dan testing juga tapi tidak tahu keterima atau tidak.”
“Oh iya mudah-mudahan cepat dapat
kerja, ya… Kalau yang lamar sudah ada?”
Aku segera mengernyitkan dahiku diikuti tawa kecil
penuh tanya, siapakah dan ada apakah sore-sore begini menanyaiku hal seperti
itu. Membuatku merasa terancam.
“Emh, hehe belum Pak. Ini ada apa ya,
kok tiba-tiba bertanya soal itu?”
“Oh, tidak. Tidak ada apa-apa, hanya
ingin tahu saja. Ahaha…” jawabnya diiringi gelak tawa yang sederhana.
“Mudah-mudahan cepat ada yang lamar ya…”
Mendengarnya berbicara seperti itu,
aku langsung terpikirkan seorang teman yang sedang menjailiku. Aku langsung
buang usaha-usaha seriusku menanggapinya, sekilas aku berubah seperti berbicara
layaknya kepada teman sebaya, sedikit fulgar dan frontal dengan gaya anak muda
jaman sekarang. Walaupun aku gak tahu gaya anak muda jaman sekarang tuh kalau
teleponan kaya gimana.
“Kenapa, Bapak mau jodohin saya
dengan seseorang atau mau kenalin saya dengan anak Bapak?” Umi jadi
memperhatikanku lebih intens.
“Wah, tidak baik acara jodoh-jodohan.
Mending kalau dijodohkan langsung cocok, kalau tidak kan siapa yang repot?”
“Ya, betul…” Gumamku.
“Benar Ratih belum ada yang lamar?
Kalau begitu siapa yang kemarin datang ke rumah?”
Mendengar pertanyaan ini, aku
serentak terkejut dan terus menerus mengernyitkan dahi. Sambil terus menanyakan
kebenaran dalam diriku, benarkan ini Pak ‘A’? Kenapa dia bisa berkata seperti
itu? Maksud dari semua ini apa?
“Seingat saya kemarin tidak ada yang
main ke rumah.”
“Ya, belakangan ini…”
“Emh, siapa ya? Tidak ada…”
“Betul tidak ada?”
“Iya betul… Siapa ya?” Aku rasa tidak
ada ataukah ingatanku sedang dalam masalah.
“Teman satu angkatan, sudah bekerja
dan orangnya sederhana. Orang yang Ratih suka, satu angkatan.”
Aku mengulang kata-katanya sambil
memikirkan siapakah gerangan yang dia maksud, dan terus menerus berkata tidak
ada, dan aku terus meyakinkan padanya bahwa memang tidak ada orang seperti yang
dia gambarkan itu.
“Dia sudah dua kali ke rumah Ratih,
coba ingat-ingat lagi.”
“Teman satu angkatan? Sudah kerja?
Sederhana? Teman angkatan mana dulu nih Pak, banyaknya teman saya tidak bisa digambarkan
begitu saja. SMP, SMA, Perkuliahan?”
“Ya coba saja diingat. Dari
perkuliahan juga ada yang pernah ke rumah, kan?”
“Dari perkuliahan? Tidak, tidak ada.”
“Ah, masa?” jawabnya santai.
“Iya betul, tidak ada.”
“Tapi teman yang pernah main ke rumah
ada?”
“Ada, teman SMP, SMA itupun
bareng-bareng kalau ada acara makan-makan. Kalau yang secara intens tidak ada.”
“Oh, benarkah? Tapi pasti pernah suka
sama orang satu angkatan itu, kan?”
Aku benar-benar pusing memikirkannya.
Sebenarnya yang beliau maksud ini siapa? Otakku benar-benar tumpul untuk
mencari seseorang di laci memoriku yang sesuai dengan kriterianya. Sebenarnya aku paling tidak suka membahas masa
lalu, hal apapun itu termasuk soal perasaan. Namun secara paksa, memoriku membuka sejarah dan
kenangan di masa lalu itu.
“Oh, iya… Ada.” Jawabku santai dan
hatiku seperti berkata “iyain aja biar cepet…”
“Nah, itulah…”
“Ya dulu mungkin saya pernah
menyukainya, tapi sekarang sudah tidak ada perasaan apapun.”
“Ya bagus… Masa lalu memang harus ditempatkan
pada tempat yang seharusnya…”
Tuut… Kemudian terputus, karena
hapeku habis baterai. Aku segera men-charge-nya,
dan tak lama lagu Fatin berkumandang lagi, masih dengan nomor yang sama.
“Iya, halo… Maaf tadi hapenya
ngedrop.”
“Oh iya gak apa-apa, asal kamu saja
yang tidak ngedrop…”
“Haha… bercanda nih.” Kataku lugas,
sementara Umi masih tak lepas perhatiannya pada ku.
“Oh iya, mohon maaf Bapak jadi
bercandain Ratih padahal kita tidak sedekat ini ya.” Katanya, aku jadi tak
bergeming. Aku jadi berpikir kembali bahwa yang sedang berbicara denganku ini
benar-benar Pak ‘A’, tapi kenapa dia jadi berlaga so tahu begitu ya, walaupun sedikitnya ada benarnya juga.
“Tapi Pak, untuk apa Bapak menanyakan
hal itu? Dan Bapak tahu dari siapa nomor handphone Ratih?”
“Hanya ingin bertanya saja, ya saat
ini Bapak sedang di rumah di kota ‘W’ bersama Papah Ratih dan adik Ratih,
Dika.”
Oh….. ini Vincent yang di UPS SALAH
itu udah berhasil jailin aku. Ih bête super BT, sama kelakuan Papah. Ngapain
Papah ngasih nomor aku sama temennya?
“Kalau begitu Ratih ingin berbicara
dengan Papah sebentar.”
Terdengar suara grasu-grusu di dalam
handphoneku, seperti suara pemain sepak bola sedang mengoper bola kepada pemain
lain. Kemudian…
“Halo?” Suara Papah terdengar jelas
membahana badai dalam speaker phone
ku. “Teruskan saja,” katanya.
“Pah, ngapain Papah ada disana?” Kataku
berapi-api bercampur emosi.
“Lagi bertamu…” Jawab Papah singkat.
“Paaa… ish ish ish…” aku kesal pada
Papah, aku yakin pasti ini ulah Papah. Karena tidak mungkin seseorang yang jauh
tiba-tiba tahu segalanya. Aku memang sempat mengelak, padahal itu benar.
Beberapa hari yang lalu temanku yang tak lama ini, yang memang sudah bekerja
dan sederhana datang ke rumah. Tapi bukan untuk melamar, melainkan silaturahmi
biasa saja.
“Iya, Ratih ini ada Dika dan Papah
Ratih disini. Ya sudah, Bapak telponnya sudah dulu ya. Nanti tunggu saja Bapak
dan keluarga main kesitu..”
“Oh iya Pak, kalau Papah Ratih bicara
yang tidak-tidak sebaiknya tidak usah didengarkan. Papah emang gak jelas…”
Pungkasku.
“Oh, tidak jelas ya? Ya, iya
baiklah.”
“Kalau mau main ke rumah, main saja
Pak. Alhamdulillah, ada kolam ikan
dan ada ikannya.”
“Oh, punya kolam ikan ya di rumah?
Banyak ikannya?”
“Ya, lumayaan Pak buat makan-makan
bersama keluarga mah. Kenyang…”
“Ya, kalau begitu nanti ditunggu saja
ya kedatangannya…”
“Iya, Pak. Salam untuk semua keluarga
di rumah.”
“Ya, sukses untuk Ratih. Cepat kerja,
cepat dapat calon ya…”
“Iya, terimakasih, Pak atas doanya. Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam
warohmatullah..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar